Categories
Articles

Perang Melawan Era Informasi: Sebuah Masa Depan Kontrol Sosial Massal – Anonim

Seiring dengan semakin kokohnya imperialisme kapitalis dalam membangun batas-batas ekonominya—melalui proses paramiliterisasi yang terus berlanjut dan struktur kepolisian internal yang semakin terpadu untuk merespons eskalasi perang eksternal serta kehancuran sosial-ekologis—represi pun semakin diperhebat sebagai respons terhadap ‘krisis’ buatan para bankir. Hegemoni tetap mempertahankan tingkat desentralisasi yang cukup agar aparatus keamanan internal dapat beroperasi secara otonom sesuai dengan kondisi lokal. Namun, area utama di mana represi ini diperkuat—yakni dalam isu ‘terorisme’ dan imigrasi (terutama melalui pemenjaraan massal dan deportasi)—berjalan seiring dengan penguatan nasionalisme yang dikondisikan serta ekspansi prison-society.

Legislasi otoritarianisme baru ini bukanlah kodifikasi hukum-hukum baru, melainkan perluasan dan penguatan dari aturan-aturan lama yang terus bergerak maju untuk menghadapi ‘ancaman-ancaman baru’. Prison-society pada hakikatnya adalah model sosial otoriter khas era informasi, di mana teknologi informasi dan ilmu pengetahuan mutakhir menjadi pilar utama perkembangan dan evolusi infrastrukturnya. prison-society bukan sekadar jaringan kamera pengawas ‘cerdas’, basis data, kantor polisi, dan lembaga pemasyarakatan (penjara)—tetapi juga perancangan kota yang dikendalikan, biometrik, chip pintar nirkontak, sistem pelacakan elektronik, dan analisis pola perilaku. Ini mencakup pemetaan satelit, tentara keamanan swasta, drone otomatis, serta pesawat pengintai tanpa awak di perbatasan. Ini adalah perluasan universal sistem kesejahteraan sosial, layanan keuangan, dan dominasi korporasi. Ini adalah analisis suara melalui telepon, CCTV beresolusi tinggi, sistem pengenalan wajah, pemindai gelombang mikro ‘X-Ray’, unit polisi rahasia untuk pembobolan, penyadapan, dan pengintaian, serta jaringan pengawasan global seperti Echelon. Ini adalah daftar hitam yang mencakup ‘subversif’, ‘kriminal’, ‘imigran’, dan ‘teroris’. Ini adalah narasi dan pesan yang dipancarkan oleh kekuasaan ke dalam kepalamu 24 jam sehari, mengonstruksi ulang realitasmu melalui televisi, surat kabar, iklan, radio, dan internet.

Ini adalah kekuatan jajak pasar, survei konsumen, dan kelompok penekan. Ini adalah kantor pajak, nilai tukar, mata uang, dan manipulasi mereka. Ini adalah detail tak terhitung banyaknya individu yang diproses oleh mesin. Ini adalah statistik dan virtualisasinya—reduksi manusia menjadi angka, algoritma, dan pola yang dapat dikendalikan.

Ini bersembunyi dalam hal-hal kecil; ia mengendalikan keberadaanmu tanpa perlu seorang sipir yang terlihat, ia mengatur rutinitasmu, menetapkan waktu, menentukan utang, dan menghabiskan upahmu. Ia memasangkan gembok dan memenuhi sel. Ia adalah industri, masyarakat, dan cara hidup. Ia adalah masa depan yang telah dipersiapkan untuk kelahiranmu—sebuah kehidupan dalam ketundukan yang diatur, membentuk manusia agar patuh dan siap menjalankannya.

Masih dalam tahap embrionik, ia kini tersebar dan hadir dalam bentuk yang masih rangka, tetapi telah mengendalikan seluruh struktur negara yang penting di pusat-pusat kekuasaan pasca-industri. Di wilayah-wilayah pinggiran seperti Asia Tenggara dan Amerika Latin, Prison-society mulai mendamaikan dan melampaui kontradiksi yang melekat dalam model klasik kontrol sosial fasis dan diktatorial—melalui konsumsi. Masyarakat-kontrol yang sedang dibangun mengumpulkan cukup banyak informasi untuk menilai aktivitas individu serta potensi penyimpangan dari norma-norma yang dikonstruksi secara hierarkis dari atas ke bawah. Ini mencakup pemantauan karakteristik fisik (misalnya, pemeliharaan basis data biometrik dan DNA nasional yang terkomputerisasi), pelacakan lokasi (misalnya, GPS, pemantauan ponsel, sistem keuangan, serta pergerakan di dunia digital), dan analisis pola perilaku—apa yang dikonsumsi, diakses, dan digunakan (misalnya, buku perpustakaan, belanja makanan, transportasi, hiburan, dan sebagainya). Hasil akhirnya adalah mimpi para sibernetikus kontrol sosial: sebuah utopia yang tertata sempurna, di mana setiap orang mengawasi satu sama lain dan mesin menjalankan segalanya.

Geotime, sebuah program keamanan yang awalnya digunakan oleh militer AS dan kini diadopsi oleh Kepolisian Metropolitan London, menciptakan grafik tiga dimensi yang memetakan pergerakan serta komunikasi individu dengan orang lain. Program ini dapat mengompilasi informasi dari berbagai sumber—situs jejaring sosial, perangkat navigasi satelit, ponsel, transaksi keuangan, hingga log jaringan IP. Hubungan antar-entitas dapat direpresentasikan sebagai komunikasi, koneksi sosial, transaksi, rekam pesan, dan sebagainya, yang kemudian divisualisasikan dalam dimensi waktu untuk mengungkap pola-pola temporal serta perilaku, sekaligus menyoroti keterkaitan yang sebelumnya tak terdeteksi. Saat jutaan hingga miliaran fragmen mikrodata dikumpulkan, hasil akhirnya adalah potret resolusi tinggi dari individu atau kelompok tertentu—suatu pengawasan total dalam bentuk yang paling canggih. Curtis Garton, direktur manajemen produk Oculus—perusahaan yang memasarkan program ini—dikutip mengatakan bahwa “dalam hal penjualan komersial, hampir siapa pun bisa membelinya.” Sementara itu, Profesor Anthony Glees, direktur Centre for Security and Intelligence Studies di Universitas Buckingham, secara terbuka mendukung penggunaan perangkat pelacak seperti Geotime, menyebutnya sebagai sesuatu yang “sangat tepat.” Ia bahkan berujar, “Menurut saya, jika ini bisa dilakukan, dan jika tujuannya adalah melindungi warga biasa yang hanya ingin menjalani hidup mereka secara sah… maka tidak ada masalah sama sekali.”

Para pengembang produk dan akademisi kontrol sosial ini adalah arsitek dari hierarki struktural dan ketidakadilan.

Teknologi baru diperkenalkan melalui urutan berikut: perangkat keras dan personel militer (misalnya: internet, sibernetika, teknologi satelit, gelombang mikro, dan sebagainya); penjara & kepolisian (misalnya: pelacakan elektronik, senjata ‘non-mematikan,’ sistem ‘penolakan area,’ situasi ‘gangguan ketertiban umum,’ dan sebagainya); lalu ke populasi sipil (misalnya: sistem CCTV rumah, komputer pribadi, produk baru, hiburan, dan sebagainya). Siklus ini mengembalikan kemajuan militer ke ranah hiburan, sekaligus membentuk ketergantungan populasi pada komponen-komponen yang dipaksakan oleh sistem militerisme.

Teknologi berupaya menghilang, terus mengecil dalam proses miniaturisasi—nanoteknologi menjadi ekspresi terkini dari kecenderungan ini. Ia dirancang untuk larut dalam latar belakang, menjadi konteks tak kasatmata dari segala aktivitas dan kehidupan kita. Mesin serta proses birokratis yang mereka picu kini mendominasi perilaku manusia dan merusak bumi. Teknologi telah menciptakan kondisi di mana manusia biasa tersingkir dari mekanisme sistem yang mengelilingi mereka, kehilangan kendali atas keputusan nyata dalam hidup mereka sendiri. Keterampilan manusia bermigrasi ke mesin, dikemas sebagai ‘alat yang berguna,’ sementara otonomi individu semakin tergerus. Kontrol sosial modern kini ditandai dengan semakin militeristiknya kepolisian internal dan infrastruktur transportasi, didukung oleh teknologi mutakhir dalam pengumpulan serta pemetaan informasi untuk dijadikan dasar model pengelolaan populasi. Semua ini bergantung pada jaringan, server, router, sistem transmisi dan konduktor, administrator, cadangan data, serta simulasi darurat. Pemodelan sibernetika oleh korporasi multinasional dan negara-negara di era informasi telah mengubah strategi perang dan perencanaan sipil sejak beberapa dekade lalu. Pengelolaan kota tak lain adalah pengelolaan informasi dalam skala tertentu. Para birokrat politik dan kapitalis memahami ini, dan karena itu, bagi mereka, membiarkan mesin menjadi kota adalah suatu keniscayaan.

Konvergensi teknologi dalam bidang kecerdasan buatan, bioteknologi, robotika, nanoteknologi, dan teknologi informasi merupakan ekspresi mutakhir dari relasi hierarkis yang kini didasarkan pada jurang kemiskinan baru—kemiskinan dalam pemahaman, pengetahuan, dan bahasa.

Kontrol atas informasi adalah faktor penentu dalam pengendalian perang modern. Dalam kehidupan yang berlangsung di tengah perang sosial demi bertahan melawan techno-system, perang informasi serta kontrol/distribusi informasi menjadi dua elemen kunci dalam perang urban baru—pertempuran antara sistem dan manusia yang hendak ditaklukkannya. Pertarungan sosial ini ditentukan oleh akses terhadap informasi, sebagaimana halnya akses terhadap sumber daya atau komoditas lainnya. Kesenjangan besar dalam akses hanyalah manifestasi lain dari jurang pemisah yang dihadapi mereka yang terpinggirkan—mereka yang telah diputus dari sarana untuk menjamin kelangsungan hidup mereka sendiri.

Teknologi informasi berakar pada logika produktif yang murni kuantitatif: ia adalah kebutuhan masyarakat massa. Teknologi informasi inilah yang memungkinkan Reich Ketiga menjalankan final solution-nya—mesin-mesin IBM yang terkenal itu menyelesaikan tugas yang, tanpa mereka, akan memakan waktu terlalu lama bagi birokrat sebelum perang berakhir, mencatat enam juta manusia menuju kematian mereka. Efisiensi dan utilitarianisme berpadu membentuk masa kini.

Dalam ekonomi kapitalis, arus informasi diperlakukan sebagai komoditas yang harus diproses dengan pengawasan ketat, sebagaimana halnya barang-barang lain yang dikendalikan. Informasi menjadi seberharga—bahkan kadang lebih berharga daripada—realitas yang dirujuknya. Sejalan dengan itu, kebenaran memiliki nilai (ekonomi), sementara kerahasiaan menjadi sesuatu yang dapat diukur dan diperdagangkan.

Aparat intelijen dan unit polisi rahasia semakin jarang bergantung pada apa yang disebut sebagai human intelligence: lebih sedikit agen di jalan, lebih sedikit pengawasan fisik, tetapi lebih banyak analis di belakang meja yang menyaring signal intelligence. Saat ini, mesin dapat memindai kata kunci dan pola tertentu, tetapi tetap memerlukan transkripsi dan analisis manusia—sebuah proses yang masih memakan waktu. Artinya, metode digital dalam pengawasan sering kali dapat digagalkan melalui pertemuan langsung yang informal serta kesadaran terhadap lingkungan operasi. Terlepas dari penyadapan, pembuntutan, dan perang psikologis, aksi langsung dan sabotase terus menyebar, bersama dengan virus anarki internasional.

Kontrol informasi adalah keadaan perang: perbatasan internal, pos pemeriksaan, apa yang disebut sebagai ‘zona hijau,’ serta lingkungan dengan ‘keamanan total.’ Namun, pertanyaan fundamental tetap sama: siapa mengetahui apa, di mana, kapan, bagaimana, dan mengapa! Perang informasi adalah branding yang kebal, pengarahan negatif, pemelintiran fakta, propaganda hitam dan abu-abu, serta fabrikasi ‘narasi.’ Ia bisa berupa daftar nama, daftar material, atau daftar instruksi—arsitektur kendali yang membentuk realitas menurut kepentingan kekuasaan.

Internet dan media sosial sedang mengubah cara manusia berinteraksi dan apa yang mereka tuntut. Informasi yang dulu tersebar terbatas—bahkan 30 atau 20 tahun lalu—kini beredar bebas, membuka akses terhadap pengetahuan yang sebelumnya ‘terlarang’ lebih luas dari sebelumnya. Dari rahasia dagang tentang metode produksi hingga dokumen pemerintah mengenai kekejaman perang, berbagai spektrum kebenaran kini lebih mudah ditemukan. Namun, semua itu tak berarti apa-apa tanpa kemauan untuk menggunakannya sebagai landasan tindakan. Melalui konsumerisme, liberalisme nyaman telah berkembang di pusat pasca-industri. Dalam jangka panjang, kegagalan pasokan sumber daya tradisional (peak oil production) akan berujung pada kelangkaan dan konflik. Negara-bangsa tidak lagi mampu memenuhi tuntutan rakyatnya—satu-satunya jalan bagi mereka untuk mempertahankan posisi dan ketertiban adalah menjual diri kepada korporatisme. Mereka tengah memasuki krisis tanpa preseden, dengan sedikit harapan untuk pulih, kecuali jika teknologi baru dalam pasokan energi dan produksi dapat mencegah kehancuran industri akibat penipisan sumber daya dan kelangkaan yang tak terhindarkan. Namun, kapitalisme dapat dan akan beradaptasi dengan setiap fase keterbatasan. Rencana bank-bank global adalah menangkap sebanyak mungkin kekayaan sosial, sekaligus melumpuhkan kemampuan negara-bangsa untuk melawan manipulasi mereka terhadap ekonomi dan pemerintahan.

Konfigurasi ulang kekuasaan tampak tak terelakkan, disertai dengan masa depan korporatis yang total dan saling terhubung. Korporasi adalah entitas jaringan dengan agenda monolitik, tetapi karena mereka tunduk pada arus Kapital dan Negara, mereka terus-menerus mengalami perpecahan dan rekonstruksi. Negara-bangsa, yang pada dasarnya tak dapat berubah, tidak akan mampu beradaptasi dengan masa depan sibernetik yang berjejaring dan korporatif—kecuali jika mereka menanggalkan ilusi hubungan ‘demokratis’ yang mereka kelola dan sepenuhnya mengadopsi prison-society sebagai model sosial. Arah ini sudah mereka tempuh secara sadar. Negara-bangsa akan dilampaui oleh korporasi dan semakin bergantung padanya, sementara korporasi justru semakin mandiri dari negara. Jika negara-bangsa mencoba mendominasi atau mensubversi korporasi, kemungkinan besar mereka akan gagal.

Kini, titik kritis telah tercapai—narasi-narasi strategis yang selama ini menahan pelepasan kekerasan libertarian-revolusioner mulai runtuh seiring dengan perlawanan populasi terhadap rencana kaum kaya. Negara-bangsa pasca-industri berada dalam ancaman, dan semakin terang-terangan menampilkan proyek prison-society yang telah mereka bangun dan kembangkan—sebuah konfigurasi kekuasaan yang kini berakar, didukung sepenuhnya oleh korporasi multinasional.

Beberapa korporasi kini memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) dan kemampuan paramiliter yang melampaui banyak negara, serta bertanggung jawab atas ketidakadilan dan eksploitasi yang jauh melebihi rezim-rezim diktatorial kecil. Dalam masyarakat globalis modern, serangan harus dipahami sebagai bentuk informasi. Narasi-gambar yang bergerak cepat dan model insureksi urban yang brutal terhadap sistem telah menyebar, meresap ke dalam kesadaran mereka yang terasing di seluruh dunia. Di era pertukaran data seketika, dampak teknis dari sabotase sering kali kecil dibandingkan dengan signifikansinya sebagai penanda kehancuran dan penolakan. Sistem kapitalisme—bahkan peradaban itu sendiri—dapat menyerap sebagian besar sabotase dan serangan, tetapi media baru yang berbasis pada produksi-diri dan replikasi-diri telah menciptakan komunitas insureksi internasional yang berbagi sejarah perlawanan yang saling bertautan. Tujuannya adalah pertukaran konten yang sarat simbol, pengulangan tema, distribusi maksimal, serta kohesi yang bersifat propulsif. Serangan destruktif dan sabotase anarkis, dikombinasikan dengan metode komunikasinya—gambar yang kuat atau komunike—menjadi darah bagi aksi langsung anarkis yang baru. Ia mengartikulasikan kesadaran yang teradikalisasi, berlandaskan organisasi partisipatoris serta proliferasi gagasan-gagasan destruktif dan ikonoklastik.

Gagasan anarkis dan nihilis adalah anatema bagi era informasi—mereka adalah glitch dalam masyarakat basis data, sesuatu yang lolos dari klasifikasi dan kendali. Imajinasi yang melangkah; berbahaya, tak terduga, dan mampu menciptakan momen-momen keterhubungan yang tak bisa diramalkan.

Masa depan peradaban adalah penyatuan yang semakin erat antara kekuasaan negara dan korporasi, dengan sains baru sebagai sekutu utamanya. Dengan perang dan krisis sebagai dalih abadi, kaum elit telah mendeklarasikan kekuasaan mutlak atas setiap individu yang bebas, setiap hewan, tumbuhan, dan wilayah liar. Menjelma sebagai kecerdasan mesin yang omnipresent, ia membentuk manusia sesuai kehendaknya, merusak serta memanipulasi seluruh benua makhluk hidup. Mencerminkan kekosongan dan kehilangan kita, prison-society harus diperangi, karena logika yang melandasinya adalah sistem penutupan kemungkinan, bekerja dengan cara mengeksklusi potensi alternatif yang tak terhitung jumlahnya. Ia bersifat self-referential, non-kreatif, dan mengejar model kemajuan yang pada hakikatnya adalah penghapusan individualitas serta kebebasan personal.

Perjuangan kita bergerak maju ke masa depan—mari hantam konsep dan mekanisme kendali mereka!

 

Esai ini awalnya diterbitkan dalam 325 issue #10. Esai ini diformat secara independen oleh Contemplative Publishing.