Dalam dunia perlawanan tanpa struktur formal, terutama di kalangan jaringan anarkis, security culture hadir sebagai prinsip dasar yang menyelubungi hampir semua aspek kehidupan kolektif dan individu. Ini bukan sekadar seperangkat prosedur teknis, melainkan sebuah cara hidup—berisi kesadaran mendalam akan risiko, keputusan untuk saling menjaga, dan pilihan-pilihan etis dalam menghadapi represi. Ia tumbuh dari pengalaman dan kekalahan, dari luka yang tak ingin diulang.
Sementara itu, safe house adalah bentuk paling konkret dari semangat tersebut. Sebuah tempat yang tidak hanya menyembunyikan, tetapi juga merawat. Ia melindungi orang-orang yang terpaksa menghilang dari radar negara, yang membutuhkan waktu untuk pulih setelah aksi langsung, atau yang tengah menghadapi tekanan hukum, sosial, maupun psikologis. Tidak ada yang benar-benar “aman” di dunia yang terus-menerus mengawasi, tetapi safe house menjadi ruang di mana kemungkinan untuk selamat—secara fisik dan mental—masih bisa diperjuangkan.
Dua konsep ini saling mengikat. Tanpa budaya keamanan yang hidup dalam kebiasaan sehari-hari, rumah seaman apa pun bisa bocor. Sebaliknya, security culture tanpa dukungan ruang nyata hanya akan menjadi teori tanpa daya. Di titik inilah keduanya bertemu: di antara keheningan rumah yang tak tercatat, dan kedisiplinan yang tak ditulis tetapi dijalani.
Mengapa Safe House Penting dalam Jaringan Anarkis?
Bagi jaringan yang bekerja di luar sistem formal, terutama yang beroperasi secara desentral dan berbasis afinitas, keberadaan safe house bukan sekadar pilihan taktis—melainkan kebutuhan mendasar. Ia adalah tempat untuk bernafas ketika dunia luar terlalu keras, ruang aman sementara sebelum kembali ke jalan, dan simpul tenang dalam jaringan yang terus bergerak.
Fungsinya beragam: sebagai tempat istirahat bagi kawan yang baru keluar dari aksi, sebagai titik transit bagi mereka yang harus berpindah lokasi secara mendadak, atau sebagai ruang penyimpanan materi yang tidak bisa ditinggalkan sembarangan. Dalam situasi tertentu, ia juga menjadi ruang diskusi senyap, tempat menyusun ulang strategi setelah kekacauan.
Namun yang membuat safe house benar-benar penting bukan hanya ruangnya, tapi relasi sosial yang menopangnya—kepercayaan, komitmen, dan pengertian bahwa ruang tersebut bukan milik siapa-siapa, tetapi dijaga bersama demi keberlangsungan yang lebih besar dari individu.
Tantangan Praktis dan Budaya dalam Menjalankan Safe House
Meski tampak ideal, praktik safe house di lapangan seringkali menemui tantangan yang kompleks. Salah satu hambatan paling umum adalah kecenderungan untuk melihatnya secara romantik—sebagai ruang pelarian yang nyaman, bukan sebagai bagian dari sistem pertahanan kolektif. Akibatnya, sering muncul kelonggaran dalam menjaga privasi, kedisiplinan, atau bahkan dalam menghargai batasan-batasan yang telah disepakati bersama.
Ada juga persoalan yang tampak remeh tapi bisa berakibat fatal: gosip. Informasi bocor bukan karena penyadapan canggih, tetapi karena obrolan santai yang dianggap sepele. Dalam banyak kasus, jaringan hancur bukan karena kekuatan musuh, tetapi karena kelalaian dari dalam.
Selain itu, tak semua kolektif punya sistem pendidikan internal yang mendukung penyebaran pengetahuan soal security culture. Karena menolak bentuk-bentuk hierarki, banyak yang kesulitan membangun sistem belajar horizontal yang kuat dan berkelanjutan. Akibatnya, orang baru sering kali terjun langsung ke situasi berisiko tanpa cukup pemahaman tentang konsekuensinya.
Bentuk tantangan lain muncul dari ketidaksesuaian ekspektasi dan realitas. Tidak semua orang siap hidup dalam ketertutupan. Tekanan psikologis, isolasi, dan kesalahpahaman internal bisa menjadi beban tambahan yang sulit ditanggung tanpa dukungan yang memadai.
Jejak Safe House: Dari Dunia ke Nusantara
Sejarah gerakan bawah tanah menyimpan banyak contoh tentang pentingnya safe house. Di Amerika Serikat, kelompok The Weather Underground menjalani kehidupan bawah tanah selama bertahun-tahun, berpindah dari satu rumah ke rumah lain untuk menghindari FBI, sambil tetap melancarkan serangan simbolik terhadap institusi negara. Di Eropa, jaringan Rote Armee Fraktion di Jerman dan Réseau Jeanson di Prancis menjalankan jaringan rumit untuk melindungi buron politik dan aktivis perlawanan.
Di Asia, praktik serupa juga tumbuh, meski seringkali tak mendapat perhatian besar. Di Filipina, misalnya, rumah-rumah aman menjadi tulang punggung bagi para pejuang rakyat dan aktivis HAM dalam menghadapi ancaman militer. Di Myanmar dan Thailand, safe house menjadi tempat singgah bagi pengungsi politik, pembangkang, dan wartawan independen yang dikejar junta militer. Dalam konteks ini, rumah bukan hanya tempat tinggal, melainkan bentuk perlawanan diam terhadap kekuasaan yang brutal.
Salah satu contoh paling ekstrem namun terorganisir dapat ditemukan di Yunani, terutama pasca-krisis ekonomi 2008 dan gejolak sosial yang menyusulnya. Di sana, jaringan anarkis informal berkembang pesat dan menjadi kekuatan sosial yang nyata—baik dalam bentuk protes jalanan, okupasi ruang publik, hingga sabotase dan tindakan langsung. Salah satu formasi yang dikenal luas adalah Conspiracy of Cells of Fire (CCF), sebuah jaringan anarkis nihilistik yang beroperasi secara mandiri dan tersebar, tanpa pusat koordinasi formal. CCF aktif sejak akhir 2000-an, dan dikenal karena serangkaian aksi pembakaran simbolik, pengiriman paket bom ke figur politik, serta publikasi manifesto yang menggabungkan kritik eksistensial, anti-otoritarianisme, dan pembelaan terhadap individualisme bersenjata.
Keberadaan mereka tidak terlepas dari jaringan safe house yang dibangun secara desentral—tempat para anggota berpindah, bersembunyi, mempersiapkan aksi, atau sekadar beristirahat. Struktur yang tidak terpusat membuat mereka sulit dilacak. Informasi tidak disebarkan kecuali pada mereka yang benar-benar terlibat dalam lingkaran aksi, dan setiap sel beroperasi dengan tingkat otonomi yang tinggi. Di Yunani, praktik ini mendapat semacam “ruang sosial” yang lebih luas karena adanya dukungan diam-diam dari sebagian masyarakat urban yang telah muak dengan negara dan kapitalisme. Safe house dalam konteks ini tidak selalu tersembunyi secara ekstrem—kadang berupa kosan kecil di tengah kota, atau ruang okupasi yang disamarkan sebagai kolektif budaya.
Indonesia memiliki sejarah senyap yang serupa. Dari masa Orde Baru hingga gelombang kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan, buruh, dan mahasiswa hari ini, safe house telah menjadi tempat persembunyian sekaligus ruang untuk menyusun kembali arah gerakan. Ia tak tercatat dalam sejarah resmi, tetapi hidup dalam cerita dari mulut ke mulut, dalam jejak langkah yang disembunyikan. Meski tidak seintensif Yunani atau Amerika Latin, geliat gerakan anarkis di Indonesia—dengan karakter informal dan kuatnya solidaritas lintas kota—menunjukkan bahwa gagasan rumah aman tetap relevan di berbagai konteks lokal.
Dua Tahun Terakhir: Afinitas Sunyi yang Sedang Bertumbuh
Dalam dua tahun terakhir, penulis melihat geliat baru dalam praktik safe house di beberapa kota di Nusantara. Dimulai dari kerja sama antara sejumlah penerbit anarkis dan kolektif mandiri, jaringan ini berkembang secara perlahan namun konsisten. Tanpa banyak bicara, mereka membangun sel-sel kecil yang bergerak dalam senyap, menyediakan tempat singgah bagi kawan-kawan yang berada dalam tekanan, atau sekadar memberi ruang untuk pulih tanpa gangguan.
Kerja sama ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga kultural—menanamkan kembali nilai-nilai kepercayaan, kerahasiaan, dan kolektifitas dalam menjalankan ruang aman. Di tengah tekanan yang makin besar terhadap aktivisme akar rumput, keberadaan safe house menjadi salah satu sedikit ruang yang masih bisa diandalkan untuk bertahan, berpikir, dan bernapas.
Namun tentu saja, perjalanan ini tak selalu mulus. Tantangan muncul dari dalam: disiplin yang goyah, jalur komunikasi yang tidak selalu terenkripsi, atau kesepakatan bersama yang tidak dijaga dengan konsisten. Ada pula gesekan emosional yang tak terhindarkan dalam ruang sempit yang harus dihuni bersama dalam waktu tak tentu.
Akan tetapi, kegagalan-kegagalan itu bukan akhir. Mereka adalah bagian dari proses kolektif belajar. Setiap kesalahan, kelalaian, atau keretakan adalah catatan penting—arsip hidup yang mengingatkan kita bahwa keamanan bukan jaminan, melainkan perjuangan harian.
Penutup: Bangun Ruangmu Sendiri, Sebelum Mereka Menutup Segalanya
Dunia ini sudah tidak aman, dan tidak akan pernah aman bagi mereka yang menolak tunduk. Yang tersisa hanyalah sejauh mana kita bisa saling menjaga, seberapa kuat kita bisa membangun ruang-ruang aman dari reruntuhan dunia yang terus melucuti privasi dan kebebasan.
Jangan tunggu situasi genting untuk berpikir tentang safe house. Jangan tunggu aparat datang sebelum belajar mengenali protokol dasar keamanan kolektif. Jangan tunggu temanmu ditangkap sebelum kamu belajar mengenkripsi percakapan, menyusun rute pelarian, dan mengamankan tempat tinggal kolektif.
Bangun ruangmu sendiri—di kota kecil, di pinggir desa, di kosan sempit atau di rumah tua keluarga. Tidak perlu besar, tidak perlu sempurna. Yang penting, ia dijaga. Dirawat. Disepakati.
Karena selagi mereka punya kantor, satelit, dan sistem penjara, kita hanya punya satu hal: jaringan. Dan jaringan ini tidak akan bertahan tanpa kultur yang tahu kapan harus bicara, kapan harus diam, dan kapan harus menghilang.
Sudah cukup kita menjadi target. Kini saatnya menjadi bayangan, dan jangan sampai tertangkap!