Katalog zine Talas Press kini sudah tersedia di Noblogs dan dapat diunduh secara gratis. Ketuk gambar untuk mengunduh!
Kibbutz di Langit – d.a. levyToward The Queerest Insurrection – Mary Nardini GangBe Gay Do Crimes – Mary Nardini GangBiner dan Utusan – Ricardo Flores MagonGarden – Dick McBride
Anti-hak cipta. Setiap teks, gambar, dan apapun yang kamu sukai adalah milikmu. Ambil dan gunakan semaumu tanpa harus meminta izin.
Di tengah dorongan global untuk transisi energi ramah lingkungan, nikel menjelma menjadi mineral paling diburu abad ini. Ia menjadi bahan bakar baru dalam produksi baterai lithium-ion, terutama untuk kendaraan listrik atau Electric Vehicle (EV) yang dianggap sebagai masa depan transportasi global—simbol peralihan dunia dari energi fosil menuju Energi Baru Terbarukan (EBT) yang katanya lebih bersih dan berkelanjutan. Indonesia, dengan cadangan nikel terbesar di dunia, kini menjadi pusat perhatian dunia, sekaligus medan baru perebutan sumber daya.
Electric Vehicle Lithium-Ion Batteries
Indonesia saat ini menyandang status sebagai pemilik cadangan bijih nikel terbesar di dunia, dengan sekitar 42% dari total cadangan global dan menyumbang 51% produksi nikel global (USGS 2023). Sumber daya ini tersebar luas di wilayah timur, terutama di Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara. Di sinilah pusat perhatian investor asing (terutama dari China), pemerintah, dan korporasi internasional berkumpul—mengincar apa yang disebut sebagai “emas hijau” dari perut bumi.
Untuk menggenjot industrialisasi, pemerintah Indonesia menetapkan nikel sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Perpres No. 109 Tahun 2020. Kawasan industri berskala besar seperti Pulau Obi, Morowali, dan Weda Bay di Pulau Halmahera dikembangkan dengan dukungan penuh infrastruktur dari Kementerian PUPR. Sejak 2019, ekspor bijih nikel mentah juga dilarang demi mendukung hilirisasi, meningkatan nilai tambah industri di dalam negeri, dan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global baterai kendaraan listrik. Di saat yang sama, nikel juga digunakan secara luas dalam industri stainless steel, yang memperluas cakupan permintaan pasar dunia terhadap nikel Indonesia.
Namun di balik gemerlap jargon “pembangunan hijau”, realitas di lapangan berbicara sebaliknya: deforestasi, perampasan tanah adat, kerusakan ekologis, tambahan emisi karbon dan gelombang kriminalisasi terhadap masyarakat lokal yang mempertahankan ruang hidupnya. Pulau Halmahera adalah contoh nyata. Di wilayah ini, dengan 1.465 izin industri berbasis lahan—dengan 108 izin untuk tambang mineral-logam, dan 51 di antaranya untuk tambang nikel—ekspansi tambang telah menyebabkan deforestasi besar-besaran di mana sebanyak 23.763 hektar hutan hilang dalam kurun 2017–2023.
Salah satu simpul paling mencolok dari kontradiksi ini terletak di Maba Sangaji, sebuah wilayah adat di Halmahera Timur, Maluku Utara yang kini porak-poranda oleh operasi PT Position (POS). Di atas kertas, POS hanyalah satu dari sekian banyak perusahaan tambang nikel. Namun jika ditelisik lebih dalam, ia adalah pion dalam permainan besar kapitalisme ekstraktif. POS dikendalikan oleh PT Tanito Harum Nickel—anak perusahaan dari PT Harum Energy Tbk, perusahaan yang sahamnya terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Harum Energy dimiliki oleh keluarga Kiki Barki, taipan batu bara yang kini juga rakus menambang “emas hijau” bernama nikel. Dengan skema kepemilikan bertingkat dan jaringan korporasi yang terintegrasi dari hulu ke hilir—dari tambang, smelter, hingga pabrik pengolahan mixed hydroxide precipitate—mereka menguasai seluruh siklus produksi untuk pasar global.
Tanah Adat di Maba Sangaji, Halmahera Timur, Maluku Utara.
Kiki Barki sendiri sebetulnya adalah nama lama dalam dunia pertambangan dan politik di Indonesia. Ia adalah seorang penguasa batu bara Indonesia selama 3 dekade ke belakang. Ia bahkan pernah menjadi asisten khusus Menteri Pertahanan pada 2011. Jadi, tidak hanya kaya, Kiki Barki juga memiliki kekuasaan yang bersilang langsung dengan elit politik. Jejak kedekatannya dengan kekuasaan terlihat dari sejarah: Pramono Anung (Sekjen PDIP (2005–2010), Wakil Ketua DPR (2009–2014), dan Sekretaris Kabinet Jokowi (2014–2024), dan sekarang menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta (2025-2030)) dulu adalah direktur PT Tanito Harum periode 1988–1996 (anak perusahaan PT Harum Energy). Bahkan menjelang berakhirnya kontrak PT Tanito Harum pada 2019, Kiki Barki disebut berusaha memengaruhi Jokowi ketika mengeluarkan IUPK tanpa lelang melalui Kementerian ESDM hanya empat hari sebelum habis masa kontrak—sebuah keputusan yang secara terang mendukung bisnis keluarga Barki.
Kronik Awal Konflik Warga Adat Maba Sangaji Melawan PT. Position
Pada Oktober 2024, pemerintah menerbitkan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk PT. Position (POS) di wilayah Hutan Adat Maba Sangaji, Halmahera Timur. Tak ada sosialisasi. Tak ada pemberitahuan. Warga baru sadar sebulan kemudian, saat aktivitas land clearing sudah berlangsung di hutan mereka.
Hutan yang digusur bukan kawasan kosong. Di sana tumbuh pala—komoditas utama warga—serta damar, kayu besi, dan kenari. Aktivitas perusahaan juga merusak sungai-sungai kecil seperti Kaplo, Tutungan, dan Samlowos, yang semuanya bermuara ke Sungai Induk: Sungai Sangaji, sumber air utama warga. Akibatnya, ekosistem laut juga terganggu: ikan dan udang menghilang.
Salah satu kawasan hutan adat di Maba Sangaji yang dirusak oleh PT. Position
Desember 2024, warga mempertanyakan aktivitas tambang ke perangkat desa, namun tak ada jawaban. Beberapa hari kemudian, perwakilan PT POS datang bukan untuk menjelaskan, tapi merekrut pekerja dan menawarkan “tali asih” senilai Rp2.500/m² untuk lahan seluas 730 hektar—nominal yang tidak sebanding untuk nilai ekonomi dan ekologis bagi masyarakat Maba Sangaji. Warga pun menolak: tanah adat bukan untuk dijual.
Pada 16 April 2025, 15 warga datang ke lokasi tambang dan menyita kunci alat berat sebagai bentuk protes. Aksi damai ini dibalas dengan represifitas aparat bersenjata. Terjadi bentrokan kecil tetapi warga tetap berhasil membawa pulang kunci alat berat sebagai bukti bahwa perusahaan harus bertanggung jawab. Tak lama, 11 warga mendapat surat panggilan polisi, salah satunya bahkan tidak ikut aksi. Aparat bahkan mendatangi rumah warga setiap hari, yang sesekali disertai dengan ancaman. Bupati Halmahera Timur bahkan disebut memerintahkan kepala desa untuk memaksa warga memenuhi panggilan polisi. Tetapi warga menolak hadir karena menyadari ini adalah bentuk kriminalisasi.
28 April, pemerintah desa menggelar rapat “sosialisasi tali asih” yang disertai manipulasi: tanda tangan daftar hadir digunakan sebagai bukti persetujuan kompensasi. Warga yang menyadari ini segera merobek daftar hadir setelah memfotonya. Setelah itu, intimidasi dan ancaman terus terjadi. Seorang warga lain yang mengalami perlakuan tersebut, lalu menghilang dan menjadi sulit dihubungi. Surat panggilan resmi baru muncul 30 April, disusul ancaman langsung lewat telepon. Warga semakin sadar bahwa ini bukan sekadar konflik tambang, tapi upaya sistematis melemahkan perlawanan.
Namun warga tak tinggal diam. Mereka tetap mengorganisir kekuatan adat dan menghentikan aktivitas tambang secara langsung. Pada 18 Mei 2025, mereka kembali mendatangi lokasi tambang, memasang spanduk tuntutan, menghentikan operasi tambang, lalu memblokir jalan sebagai bentuk protes. Mereka juga menancapkan bendera adat di area tambang dan disertai pernyataan penolakan kepada perusahaan. Tak lama kemudian, delapan mobil double cabin yang membawa puluhan aparat Brimob dan Reskrim bersenjata lengkap datang ke lokasi. Mereka menjatuhkan bendera adat, melakukan pemukulan, dan penangkapan terhadap 27 warga adat Maba Sangaji. Sebelas di antaranya kini masih ditahan hingga hari ini oleh Polda Maluku Utara.
Strategi Kriminalisasi
Beberapa hari setelah penangkapan, siaran pers kepolisian dipublikasikan ke publik dengan tujuan mengaburkan konteks perjuangan warga dan menyusun narasi yang menyesatkan. Istilah “keamanan”, “hukum”, dan “premanisme” digunakan sebagai tameng untuk melindungi modal serta menekan perlawanan rakyat. Bahkan, pihak kepolisian menuding adanya “aktor intelektual” di balik aksi warga—seolah-olah perlawanan tersebut bukan muncul dari penderitaan nyata, melainkan hasil hasutan pihak tertentu.
Melalui tuduhan semacam itu, kekuasaan berniat mengalihkan perhatian publik dari akar persoalan sebenarnya—perampasan tanah dan kerusakan ekologis—sekaligus mendelegitimasi amarah kolektif warga dengan mencapnya sebagai “aksi tunggangan”. Tak berhenti di sana, beberapa hari setelah siaran pers tersebut, pemerintah desa setempat juga mengeluarkan surat pernyataan yang menyebut bahwa sebelas warga yang ditahan bukan bagian dari komunitas adat. Tujuannya jelas: menggambarkan mereka sebagai pelanggar hukum serta melemahkan solidaritas masyarakat.
11 warga Maba Sangaji dijadikan tersangka atas aksi penolakan terhadap PT. Position
Belum usai disitu, kesebelas warga tersebut kemudian di tuduh positif narkoba melalui tiga kali tes urine dalam satu hari yang sama. Dua tes pertama di pagi hari menunjukkan hasil negatif. Namun pada malam hari, tes ketiga tiba-tiba menunjukkan hasil positif ganja—sebuah lelucon besar karena tentu saja warga berada dalam tahanan sepanjang hari. Apakah mereka mengonsumsi ganja di kantor polisi? Ataukah zat tersebut disisipkan secara diam-diam melalui makanan atau minuman yang diberikan?
Tuduhan narkoba adalah taktik lama yang sering digunakan aparat untuk mendiskreditkan perlawanan rakyat. Strategi ini memanfaatkan stigma sosial agar publik berhenti bersimpati dan mulai menghakimi. Tuduhan semacam itu sulit dibantah, namun sangat efektif: ia memecah fokus pendampingan hukum, menghancurkan citra para pejuang lingkungan, dan melemahkan solidaritas.
Apa yang terjadi terhadap sebelas warga adat Maba Sangaji di Halmahera Timur bukan sekadar konflik agraria. Ini adalah bagian dari manajemen konflik spektakuler—sebuah strategi kekuasaan untuk mengendalikan persepsi publik melalui pencitraan dan manipulasi hukum. Strategi ini sejalan dengan konsep spectacle yang dikembangkan oleh Guy Debord, di mana kapitalisme modern tidak lagi mengandalkan represi terbuka, melainkan bekerja lewat citra, narasi, dan disinformasi untuk menutupi kenyataan.
Negara tidak pernah netral. Bahkan hari ini, sebagaimana yang diterangkan Debord dalam Comments on the Society of the Spectacle (1988), kekuasaan telah berkembang menjadi sistem global tunggal yang menyatukan negara dan kapital dalam satu mekanisme kendali total. Dalam kasus PT. Position, aparat negara tentu saja memfasilitasi perusakan hutan adat demi proyek tambang nikel, yang dibungkus dengan narasi transisi energi ramah lingkungan dan Proyek Strategis Nasional. Ketika warga melawan, negara membalas dengan skenario berlapis: tuduhan premanisme, pencabutan status adat, hingga tuduhan narkoba—semuanya dijalankan tanpa prosedur yang sah dan manipulatif.
Setiap narasi dibentuk bukan berdasarkan fakta, tapi atas kebutuhan kekuasaan: untuk menjauhkan siapapun yang melawan negara dari simpati publik, membingkai mereka sebagai ancaman, dan mempertahankan operasi tambang. Dalam sistem ini, hukum hanya alat teatrikal—properti dalam panggung kekuasaan. Tujuan utama dari semua ini adalah menciptakan rasa takut. Bukan hanya untuk menghukum yang melawan, tapi untuk mengirim pesan kepada masyarakat luas: bahwa mempertahankan ruang hidup berarti melawan kepentingan nasional—dan karenanya, harus dihukum.
Ilusi Energi Baru Terbarukan
Panggung kekuasaan—yang selalu didasarkan pada kebohongan yang terstruktur—sebetulnya sudah bisa diidentifikasi sejak promosi Energi Baru Terbarukan(EBT) sebagai jawaban atas krisis iklim. EBT yang dipromosikan negara dan korporat, dalam praktiknya, bukan digerakkan oleh semangat penyelamatan bumi, melainkan oleh logika investasi dan profit—sebagai arena baru bagi bisnis dan kapital untuk berekspansi.
Dalam konteks ini, krisis iklim direduksi menjadi komoditas. Isu lingkungan yang semakin populer dimanfaatkan oleh korporasi untuk menjustifikasi proyek-proyek yang sesungguhnya menindas. Retorika “ramah lingkungan” dipakai bukan untuk merombak sistem produksi yang merusak, melainkan untuk memperhalus wajah dominasi dan memperpanjang usia kapitalisme itu sendiri. Kapitalisme telah belajar berbicara dalam bahasa ekologi—namun bukan untuk menyelamatkan bumi, melainkan untuk menyelamatkan bisnis mereka.
Contoh nyata dari paradoks ini adalah proyek kendaraan listrik. Di atas kertas, kendaraan listrik diklaim sebagai simbol masa depan ramah lingkungan. Namun, di lapangan, proyek ini ditopang oleh penghancuran hutan, perampasan tanah, dan eksploitasi tambang nikel yang brutal—seperti yang terjadi di Maba Sangaji, Maluku Utara. Ruang hidup masyarakat adat dan komunitas rural dikorbankan agar industri kendaraan listrik dapat terus berputar. Dengan kata lain, “energi bersih” dijalankan dengan cara-cara yang sangat kotor.
Di Maluku Utara, khususnya di Pulau Halmahera, empat dari 51 perusahaan tambang nikel yang diteliti oleh Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menghasilkan 353.000 ton logam nikel dan menyumbang 15 juta ton emisi gas rumah kaca pada 2023. Gas rumah kaca seperti CO₂ memang tidak beracun secara langsung, tetapi memperburuk krisis iklim dan polusi udara. Masyarakat perkotaan—sebagai pengguna kendaraan listrik dan produk “ramah lingkungan” lainnya—secara tak sadar ikut memperparah kerusakan yang mereka pikir sedang mereka perbaiki.
Meskipun pusat tambang dan smelter nikel berada di luar Jawa, dampak karbonnya bersifat lintas batas wilayah. Emisi dari proses ekstraktif nikel yang berbasis batu bara memperburuk pemanasan global dan mempercepat akumulasi karbon di atmosfer. Di kota-kota yang sudah dicekik oleh polusi dari kendaraan dan industri, tambahan karbon ini mengantarkan lebih banyak warga pada ISPA, asma, dan iritasi saluran pernapasan yang kian kronis.
Efek domino dari krisis iklim pun tak terhindarkan. Peningkatan suhu global memicu fenomena heatwave, dan kawasan urban yang miskin ruang hijau menjadi tempat panas yang menyengat. Rumah tangga terpaksa menyalakan AC dan kipas angin lebih lama—membuat tagihan listrik melonjak. Namun yang paling terdampak adalah para pekerja lapangan, lansia, dan anak-anak yang tubuhnya lebih rentan terhadap dehidrasi hingga heatstroke.
Di sisi lain, krisis air bersih mulai menghantui kota-kota besar. Ketergantungan pada air permukaan tak lagi memadai di tengah curah hujan yang tak menentu dan musim kemarau yang makin panjang. Drainase yang buruk membuat banjir bandang menjadi ancaman baru yang rutin. Infrastruktur rusak, logistik terganggu, dan kerugian ekonomi menimpa kelompok paling rentan—kelas pekerja dan pelaku usaha kecil.
Sementara itu, di balik kilauan kendaraan listrik yang melintas di jalanan perkotaan, pembangkit listrik tenaga batu bara tetap mendominasi pasokan energi. PLTU yang menyuplai energi untuk smelter nikel di luar Jawa juga menopang kebutuhan listrik di perkotaan. Akibatnya, warga di sekitar PLTU seperti Cirebon, Cilacap, dan Suralaya terus menghirup udara penuh partikel racun demi menjaga stabilitas listrik di pusat ekonomi nasional. Ketika konsumsi meningkat, tarif listrik ikut naik, dan ancaman blackout mengintai di musim beban puncak.
Inilah wajah dari green spectacle—tontonan “ramah lingkungan” yang memasarkan solusi-solusi palsu dalam kemasan menyenangkan. Solusi-solusi ini dipaketkan layaknya produk konsumen: dapat dibeli, dikonsumsi, dan dipamerkan, asalkan kita punya daya beli. Kita diajak untuk merasa “berkontribusi” menyelamatkan planet hanya dengan membeli produk hijau, tanpa pernah mempertanyakan siapa yang menciptakan krisis ini sejak awal.
Dengan demikian, krisis iklim telah direkayasa menjadi peluang bisnis, dan darurat ekologis hanyalah kosmetika belaka. Transisi energi menjadi proyek elite untuk mempertahankan status quo. Alih-alih membebaskan, EBT yang dipromosikan hari ini justru semakin merusak dan menyingkirkan. Di balik retorika hijau yang menyilaukan, kapitalisme tetap berjalan seperti biasa—menindas dalam balutan warna hijau.
NGO dan Ilusi Perubahan
Semua ini menimbulkan satu pertanyaan mendesak: mengapa proyek-proyek destruktif yang terang-terangan merusak bumi dan menyingkirkan komunitas akar rumput masih bisa terus berlangsung tanpa perlawanan yang berarti? Mengapa suara-suara yang mencoba menentangnya begitu mudah dibungkam, dikooptasi, atau bahkan dibelokkan?
Jawabannya tidak hanya terletak pada kekuatan negara dan korporasi, tetapi juga pada kondisi gerakan perlawanan itu sendiri—yang, di banyak tempat, terlalu menggantungkan diri pada lembaga donor, NGO, atau LSM yang beroperasi dalam logika proyek dan pendanaan. Imajinasi sebagian besar orang di Indonesia untuk melawan negara-modal masih terperangkap dalam kerangka kerja NGO.
NGO kerap diposisikan sebagai representasi demokrasi partisipatif, wadah perjuangan sipil, dan mediator antara rakyat dan negara. Namun dalam kenyataannya, mereka justru sering kali berperan sebagai peredam konflik, bukan pemantik perlawanan. Mereka menyelenggarakan diskusi, kampanye isu, hingga demonstrasi simbolik yang dikemas sebagai bentuk perjuangan, namun pada akhirnya tak menyentuh akar persoalan: relasi kuasa yang timpang dan sistem kendali tunggal—negara-modal—yang menindas.
Alih-alih mendorong konfrontasi terhadap struktur penindasan, banyak NGO justru mendorong rakyat untuk “berpartisipasi” dalam skema yang telah disiapkan oleh kekuasaan. Setiap luapan kemarahan kolektif sering diarahkan ke dalam kanal formal seperti lokakarya, proposal, atau mediasi legal. Aksi langsung dan spontan dikikis, digantikan oleh pendekatan teknokratis yang jinak dan terkontrol. Dengan demikian, NGO menciptakan ilusi perubahan—bukan perubahan itu sendiri.
Lebih dari itu, mereka kerap menjadi perpanjangan tangan dari logika kapitalisme global: menjaga stabilitas sistem dengan memberi ruang partisipasi semu, tanpa pernah membiarkan rakyat benar-benar mengguncang fondasinya. Perlawanan dikurung dalam kalender proyek dan laporan evaluasi, sementara kerusakan terus berlangsung, dan para pelaku utamanya tetap tak tersentuh.
Karena itu, pertanyaannya kini bergeser: apakah NGO adalah teman? Atau justru menjadi alat kekuasaan untuk memastikan rakyat tetap patuh dan kondusif? Tentu saja, menggunakan celah dan kontradiksi sistem hukum—menjadikan NGO sebagai alat—untuk membela diri dari serangan hukum apa pun adalah sah-sah saja. Tapi bagaimana indikator untuk mengukur batas “menggunakan” agar tidak terjebak dalam labirin kelembagaan?
Jalan Keluar dari Ketergantungan
Cara terbaik untuk membebaskan diri dari belenggu adalah cara-cara yang berada di luar kendali pemerintah. Satu-satunya cara yang benar-benar efektif untuk itu adalah cara-cara yang terbebas dari mediasi lembaga negara: aksi langsung. Sederhananya, setiap tindakan otonom yang dilakukan orang untuk tujuan politik dan sosial tanpa mediasi pihak ketiga (politisi, partai, pengadilan, pemimpin serikat pekerja, pakar hukum, NGO, dll.) adalah aksi langsung—seperti yang dilakukan oleh warga adat Maba Sangaji pada 16 April dan 18 Mei 2025 lalu.
Meski dilakukan dalam kelompok kecil orang, dan meski hanya menyebabkan sedikit kerugian material bagi para bos tambang, aksi sabotase itu secara terbuka menyatakan pemberontakan terhadap perusahaan yang menindas, dan menentang gagasan bahwa mereka tidak berdaya mengubah kondisi yang membuat mereka sengsara. Mereka adalah gulma pertama yang memecah “beton” kebekuan sosial yang mati agar kehidupan baru bisa tumbuh. Dan seperti gulma keras kepala yang tumbuh dari celah-celah beton, mereka menunjukkan bahwa jika serangan tak diberikan pada waktu yang “tidak tepat”, maka waktu yang tepat tidak akan pernah datang.
Namun, bagaimanapun, seberkas gulma hanya bisa membuat retakan kecil, dan tidak pernah lebih. Satu aksi bisa memicu yang lain, tetapi daya ledak pemberontakan tergantung pada kemauan dan kesiapan kolektif untuk memperluasnya—dan tentu saja, kesiapan itu tidak akan lahir lewat jalur lembaga, petisi, lobi, atau organisasi non-profit yang justru menjadi cara halus sistem demokrasi menumpas kemampuan untuk membayangkan dunia yang berbeda.
Apa yang paling dibutuhkan saat ini bukan ketergantungan terhadap bantuan kelembagaan, tetapi kemampuan membangun narasi dari bawah, membangun “lampu sorot” dari dalam pengalaman sendiri, dan membongkar sendiri secara radikal struktur penindasan yang sedang berlangsung. Bagaimanapun, pemberontakan hanya bisa tumbuh sejauh kita sanggup merawatnya: lewat solidaritas, akar budaya, dan kebencian pada seluruh bentuk otoritas.
Untuk itu distribusi masif wacana anti-otoritarian—untuk merusak imajinasi kiriisme dan NGO yang mendominasi—menjadi penting. Kiriisme dan NGO telah berkali-kali terbukti gagal untuk mendorong organisme yang cerdas dan mengorganisir diri sendiri—mereka telah gagal sebagai alat berpikir dan bertindak untuk memahami siapa musuh kita, bagaimana mereka bekerja, dan bagaimana melancarkan “gangguan”. Dalam sejarah kekalahan anti-otoritarian, warisan pemberontakan tetap hidup dalam dunia imajinatif—wilayah yang tidak bisa sepenuhnya dihancurkan oleh kekuasaan. Tugas penting kita adalah merebut dunia imajinatif itu kembali.