Ke mana kalian saat laut ditimbuni dan disulap menjadi perumahan megah tempat kalian berlari saat pagi dan sore? Ke mana kalian saat laut dan sungai tercemari limbah pabrik para orang-orang kaya? Ke mana kalian saat hutan digantikan tambang, dibotaki sampai tak ada lagi tempat bagi spesies lain untuk hidup di dalamnya? Saat masyarakat adat diusir dari tempat hidupnya jauh sebelum negara ini berdiri? Ke mana kalian saat masyarakat adat dibunuh karena mempertahankan tanahnya dan menolak dijadikan tambang? Ke mana kalian saat penggusuran merembes dan menjalar ke setiap sudut kota? Ke mana kalian saat tak ada lagi yang bisa kami nikmati karena segalanya telah dirampas oleh negara dan para orang-orang kaya itu? Dijadikan sebagai hak milik. Ke mana kalian saat pantai dan pulau-pulau menjadi hak pribadi untuk orang-orang kaya itu? Saat orang-orang kaya itu mencaplok segalanya dengan aturan yang tentu sangat mudah mereka buat.
Ya, kalian ada di dalam sebuah coffe shop, menikmati minuman sambil mendengarkan lagu jelek milik Feast. Kalian tidak akan pernah benar-benar peduli. Kalian hanya bisa sesekali mengetik makian pada kekuasaan yang korup ini dan segera kembali pada rutinitas keseharian kalian. Kalian kesal saat duit pajak dikorupsi? Saat polisi memalaki kalian di jalanan. Lantas apa yang kalian lakukan? Memaki di medsos? Terus? Terus apa? Apa yang berubah dari makian kalian? Para bedebah itu tak pernah berhenti untuk korup. Tak pernah berhenti membunuh. Tak pernah berhenti menghancurkan hutan dan alam ini. Karena mereka sadar bahwa kalian hanya akan berakhir pada makian di atas layar.
Sekarang, saat kami memilih marah dan berkumpul. Saat kami memilih meninggalkan layar dan meratapi kehancuran ini dengan status atau komentar-komentar di media sosial. Saat kami memilih membakar simbol-simbol kekuasaan rakus dan serakah. Saat kami memilih merusak halte dan fasilitas umum lainnya. Saat kami memilih melempari dan menghancurkan mobil polisi yang melindas dan membunuh saudara kami. Membakar ratusan pos penjagaan tempat mereka memalaki kita setiap hari di pinggir jalan dari pagi hingga petang. Kalian tiba-tiba datang sebagai orang suci. Menghukum kami. Menyumpahi kami. Memaki kami sampai tak ada satupun ucapan kotor yang terlewatkan. Mengatai kami bodoh, tidak berpendidikan, SDM rendah, gerombolan orang-orang tolol tak punya empati, para provokator yang Cuma bisa menjarah. Terserah. Ya, sebut kami apa saja. Apa saja. Terserah kalian, hei para orang-orang suci!
Toh kami sadar bahwa kalian tidak akan pernah benar-benar peduli dengan apa yang tejadi pada hidup ini. Kalian tidak peduli saat tak ada lagi yang bisa kami nikmati karena seluruhnya telah dirampas oleh negara dan orang-orang kaya itu. Tak ada lagi tanah lapang untuk kami bermain karena lebih penting mall-mall dan perumahan-perumahan serta segala hal yang bertujuan untuk profit ketimbang ruang publik yang gratis. Sebab lebih penting untuk membangun pusat perbelanjaan untuk menghibur orang-orang saat tiba akhir pekan beserta keluarga kecilnya. Semua telah mereka rampas. Laut, pantai, pulau, gunung, tanah lapang tempat kami bermain, taman kota dengan pohon yang rindang. Semuanya. Semua telah dirampas tanpa sedikitpun yang tersisa.
Hei, kami tak membunuh siapa-siapa. Kami tak memperkosa siapapun, tak melecehkan siapapun. Kami bukan bandar dan pengedar narkoba. Kami tak memalak kalian di jalan-jalan. Kami tak merusak alam dan melakukan segala hal yang mengarah pada keserakahan dan segala yang merugikan untuk bumi dan seisinya. Kami tak membuat kalian hidup susah. Kami hanya memilih menghancurkan simbol kekuasaan rakus dan serakah. Membakar kendaraan yang melindas dan membunuh saudara kami. Kendaraan yang sama yang juga selalu digunakan untuk meneror dan mencoba menggusur dan merampas tanah saudara-saudara kami dari Bara-baraya hingga Dago Elos; Kendaraan yang sama yang digunakan untuk mengirim pasukan untuk membantai saudara kami dari Aceh hingga Papua. Kami membakar gedung yang diisi oleh mereka yang membuat aturan yang tak pernah berpihak dan memikirkan hidup kita. Aturan yang hanya membuat segelintir orang menumpuk kekayaan dan menghancurkan hidup ini. Kami hanya membakar dan menghancurkan apa yang menghancurkan hidup kami. Tidak lebih.
Lantas, katakan kembali pada kami secara langsung, tanpa meneriaki dan memukuli kami di arena pertempuran, tanpa menjadi cepu dan akhirnya melegitimasi kekuasaan untuk menghancurkan kami, hei para orang-orang suci: Mengapa kami memilih marah?