Pemberontakan di Indonesia adalah pesta kegembiraan. Sebuah tarian liar tanpa pemimpin dan juga komando, arus yang begitu cair hingga membuat penguasa dan orang kaya terhuyung-huyung, lari ketakutan.
Kamilah bayangan di istana mereka, ancaman yang lebih nyata dari sekadar teori. Kami tidak lahir dari konsolidasi kiri yang basi, tetapi dari api yang menghantam langsung ke jantung negara—pembongkaran total atas kekuasaan dan kapitalisme.
Hari ini, para penguasa dan serdadunya belum melepaskan operasi militernya untuk menjinakkan keliaran ini—meski bisa saja mereka lakukan. Sebagai gantinya, mereka menenun kisah busuk dan ketakutan palsu, menggiring kelas menengah, para influencer, para pendeta LSM, sebagai tameng untuk memecah yang murka. Mereka jadikan Aparatus Ideologis dan Aparatus Represifnya sebagai mainan, mereka ciptakan asap sebagai teror palsu semata, dan sebagai pemecah konsentrasi.
Namun dengan mata yang menyala menatap kekacauan, kami berseru kepada kawan-kawan: tegaklah dan jangan gentar.
Nafas pemberontakan tak pernah berhasil dicekik. Negara tak pernah bisa membunuhnya. Kamilah akar yang menyebar tanpa henti. Kamilah rizhoma—tak terpotong, tak terpatahkan, dan tak terbunuh.
Dan kini, saat ini juga, para penguasa, para bos, dan sekutunya benar-benar gemetar di hadapan yang tak bisa dijinakkan.
Kami selalu ada.
Kami akan berlipat ganda.
Kematian untuk Indonesia!
Hidup FAAF!
Hidup FAI/IRF!
Hidup CCF!
Hidup FMAI!