Skip to content

CONTEMPLATIVE PUBLISHING

Anarchist Publisher

  • Home
  • Books
  • Zines
  • Communiqué
  • Articles
  • Analysis

Month: September 2025

Mengapa Kami Memilih Marah

Posted on 2025/09/01 - 2025/09/01 by contemplativepublishing
https://contemplativepublishing.noblogs.org/files/2025/09/Untitled-video-Made-with-Clipchamp-2.mp4

Ke mana kalian saat laut ditimbuni dan disulap menjadi perumahan megah tempat kalian berlari saat pagi dan sore? Ke mana kalian saat laut dan sungai tercemari limbah pabrik para orang-orang kaya? Ke mana kalian saat hutan digantikan tambang, dibotaki sampai tak ada lagi tempat bagi spesies lain untuk hidup di dalamnya? Saat masyarakat adat diusir dari tempat hidupnya jauh sebelum negara ini berdiri? Ke mana kalian saat masyarakat adat dibunuh karena mempertahankan tanahnya dan menolak dijadikan tambang? Ke mana kalian saat penggusuran merembes dan menjalar ke setiap sudut kota? Ke mana kalian saat tak ada lagi yang bisa kami nikmati karena segalanya telah dirampas oleh negara dan para orang-orang kaya itu? Dijadikan sebagai hak milik. Ke mana kalian saat pantai dan pulau-pulau menjadi hak pribadi untuk orang-orang kaya itu? Saat orang-orang kaya itu mencaplok segalanya dengan aturan yang tentu sangat mudah mereka buat.

Ya, kalian ada di dalam sebuah coffe shop, menikmati minuman sambil mendengarkan lagu jelek milik Feast. Kalian tidak akan pernah benar-benar peduli. Kalian hanya bisa sesekali mengetik makian pada kekuasaan yang korup ini dan segera kembali pada rutinitas keseharian kalian. Kalian kesal saat duit pajak dikorupsi? Saat polisi memalaki kalian di jalanan. Lantas apa yang kalian lakukan? Memaki di medsos? Terus? Terus apa? Apa yang berubah dari makian kalian? Para bedebah itu tak pernah berhenti untuk korup. Tak pernah berhenti membunuh. Tak pernah berhenti menghancurkan hutan dan alam ini. Karena mereka sadar bahwa kalian hanya akan berakhir pada makian di atas layar.

Sekarang, saat kami memilih marah dan berkumpul. Saat kami memilih meninggalkan layar dan meratapi kehancuran ini dengan status atau komentar-komentar di media sosial. Saat kami memilih membakar simbol-simbol kekuasaan rakus dan serakah. Saat kami memilih merusak halte dan fasilitas umum lainnya. Saat kami memilih melempari dan menghancurkan mobil polisi yang melindas dan membunuh saudara kami. Membakar ratusan pos penjagaan tempat mereka memalaki kita setiap hari di pinggir jalan dari pagi hingga petang. Kalian tiba-tiba datang sebagai orang suci. Menghukum kami. Menyumpahi kami. Memaki kami sampai tak ada satupun ucapan kotor yang terlewatkan. Mengatai kami bodoh, tidak berpendidikan, SDM rendah, gerombolan orang-orang tolol tak punya empati, para provokator yang Cuma bisa menjarah. Terserah. Ya, sebut kami apa saja. Apa saja. Terserah kalian, hei para orang-orang suci!

Toh kami sadar bahwa kalian tidak akan pernah benar-benar peduli dengan apa yang tejadi pada hidup ini. Kalian tidak peduli saat tak ada lagi yang bisa kami nikmati karena seluruhnya telah dirampas oleh negara dan orang-orang kaya itu. Tak ada lagi tanah lapang untuk kami bermain karena lebih penting mall-mall dan perumahan-perumahan serta segala hal yang bertujuan untuk profit ketimbang ruang publik yang gratis. Sebab lebih penting untuk membangun pusat perbelanjaan untuk menghibur orang-orang saat tiba akhir pekan beserta keluarga kecilnya. Semua telah mereka rampas. Laut, pantai, pulau, gunung, tanah lapang tempat kami bermain, taman kota dengan pohon yang rindang. Semuanya. Semua telah dirampas tanpa sedikitpun yang tersisa.

Hei, kami tak membunuh siapa-siapa. Kami tak memperkosa siapapun, tak melecehkan siapapun. Kami bukan bandar dan pengedar narkoba. Kami tak memalak kalian di jalan-jalan. Kami tak merusak alam dan melakukan segala hal yang mengarah pada keserakahan dan segala yang merugikan untuk bumi dan seisinya. Kami tak membuat kalian hidup susah. Kami hanya memilih menghancurkan simbol kekuasaan rakus dan serakah. Membakar kendaraan yang melindas dan membunuh saudara kami. Kendaraan yang sama yang juga selalu digunakan untuk meneror dan mencoba menggusur dan merampas tanah saudara-saudara kami dari Bara-baraya hingga Dago Elos; Kendaraan yang sama yang digunakan untuk mengirim pasukan untuk membantai saudara kami dari Aceh hingga Papua. Kami membakar gedung yang diisi oleh mereka yang membuat aturan yang tak pernah berpihak dan memikirkan hidup kita. Aturan yang hanya membuat segelintir orang menumpuk kekayaan dan menghancurkan hidup ini. Kami hanya membakar dan menghancurkan apa yang menghancurkan hidup kami. Tidak lebih.

Lantas, katakan kembali pada kami secara langsung, tanpa meneriaki dan memukuli kami di arena pertempuran, tanpa menjadi cepu dan akhirnya melegitimasi kekuasaan untuk menghancurkan kami, hei para orang-orang suci: Mengapa kami memilih marah?

 

Posted in Articles

Persetan dengan Moralitas Kalian! Tanggapan atas Khutbah Para Moralis

Posted on 2025/09/01 - 2025/09/01 by contemplativepublishing

Para Moralis Lupa Apa Penyebabnya

Massa tidak tiba-tiba marah lalu merusak. Masa tidak tiba tiba begitu saja melakukan tindakan yang kalian anggap illegal. Kemarahan itu lahir dari ketidakadilan yang terus menerus muncul, lebih jauhnya kemarahan muncul karena secara prinsip logika negara, kapitalisme beserta para aparatusnya memang sudah busuk sejak awal. Gejalanya bisa kita lihat upah murah yang tidak cukup untuk hidup, penggusuran demi proyek kelas atas, aparat yang bertindak seperti keparat, pejabat yang tolol dan lain-lain.

Tapi apa yang sering dilakukan kelas menengah ketika melihat ledakan kekacauan ini? Mereka langsung menyalahkan korban dengan khutbah moralitas:  Seolah-olah masalahnya hanya ada pada cara massa melawan, bukan pada kekerasan yang setiap hari ditimpakan pada mereka.

Mereka lupa satu hal penting: yang disebut “ketertiban” itu sendiri tidak netral. Ketertiban dibangun untuk menjaga kenyamanan segelintir orang, bukan keadilan untuk semua. Ia menuntut rakyat kecil untuk patuh, diam, tertib bekerja, sementara penguasa bebas merampas tanah, merampok upah, dan melanggengkan privilese. Ketika moralis sibuk berkhotbah soal ketertiban, mereka sedang membela ketertiban yang sejak awal sudah menindas.

Membongkar Asumsi Para Moralis

Berhati-hatilah khutbah moralis itu bekerja dengan cara yang sama dengan negara!

Moralitas kelas menengah bekerja bukan dengan argumen rasional, tapi dengan rasa bersalah. Begini mekanismenya:

  1. Massa marah karena dipukul, digusur, dirampas.
  2. Kelas menengah langsung mengalihkan sorotan dari akar masalah ke ekspresi marah itu sendiri: “Jangan rusuh, jangan merusak.”
  3. Label moral ditempelkan: “anarkis” “rusuh” “tidak beradab.” Publik lalu diyakinkan bahwa masalah sebenarnya bukan ketidakadilan struktural, tapi emosi massa yang dianggap berlebihan.
  4. Efeknya: kemarahan massa dipersempit dan dianggap cacat,

Inilah yang jarang disadari bahwa cara kerja ini sama dengan logika negara. Negara selalu menyebut dirinya sebagai penjaga “ketertiban.” Bagi negara, yang penting adalah ketaatan, stabilitas, dan penjinakan. Maka siapapun yang melawan, sekecil apapun, akan disebut mengganggu ketertiban.

Logika moralis tidak jauh beda. Mereka membungkusnya dengan bahasa etis—“demo harus damai,” “kekerasan bukan solusi”—tapi hasilnya sama yaitu menyingkirkan amarah massa dari ranah yang sah. Alih-alih melihat akar masalah, mereka malah sibuk menilai apakah cara masa berdemonstrasi sopan atau tidak. Ditegaskan ya, alih-alih memahami mengapa kekerasan dan kemarahan bisa terjadi, keduanya malah sibuk menilai bentuk kekerasannya. Keduanya malah sibuk menilai dan berkhotbah pada akibat dibanding pada sebab.

Tidak Butuh Khutbah Busuk!

Khutbah moral mereka berdiri di atas asumsi busuk bahwa ketertiban lebih berharga di atas segalanya, bahwa ketenangan jalan raya lebih penting daripada kekerasan sistematis yang terus dialami oleh indvidu-individu yang berada di wilayah jajahan Indonesia. Dengan logika ini pula seolah bangunan lebih penting daripada tubuh-tubuh manusia.

Mereka bicara dengan kategori abstrak: damai, tertib, beradab. Kedengarannya luhur dan mulia, tapi sesungguhnya absurd. Apa artinya damai ketika kita dipaksa hidup dalam perang melawan lapar setiap hari? Apa gunanya tertib jika ketertiban berarti tunduk pada perintah yang menindas?

Kita tidak butuh khutbah moral dari menara gading. Ini adalah kemuakan yang tak bisa lagi ditahan, keliaran yang lahir dari luka panjang, kemarahan yang menolak dijinakkan. Dan dari sinilah lahir hasrat untuk menghancurkan akar masalah itu sampai ke dasarnya.

Posted in AnalysisTagged Fuck Morality, Insurrection

Posts navigation

Newer posts
Gaetano Bresci: L'anarchico venuto dall'America (The Anarchist Who Came From America)

Recent Posts

  • Call to Arms: Insurrectionary Solidarity with Indonesia
  • Kami Tak Bisa Dijinakkan Bahkan Dihancurkan!
  • Mengapa Kami Memilih Marah
  • Persetan dengan Moralitas Kalian! Tanggapan atas Khutbah Para Moralis
  • Kebakaran Hutan Akan Dimulai: Sebuah Wawancara dengan Toby Shone

Daftar Penerbit Anarkis di Indonesia

  • Talas Press
  • Pustaka Catut
  • Penerbit Ramu
  • Penerbit Daun Malam
  • Public Enemy Books
  • Diogenes
  • Sabate Books
  • Nomo Press
  • Page Against The Machine
  • Katong Press
  • Ngazarah Press
  • Seng Iseng Zine
  • Hellish Poets Conspiracy
  • Archipelago Anarchist Archive
  • etc.

Archives

    • September 2025
    • August 2025
    • July 2025
    • June 2025
    • May 2025
    • March 2025
    • February 2025
    • January 2025
    • December 2024
    • November 2024
    • October 2024

    Categories

    • Analysis
    • Articles
    • Books
    • Communiqué
    • General
    • Leaflet
    • Zines
    • Mail
    • Instagram
    Proudly powered by WordPress | Theme: micro, developed by DevriX.